Acara seni kejadian atau happening art bertajuk “Bagus Kodok Ibnu Sukodok Daup Peri Roro Setyowati” karya Bramantyo Prijosusilo yang digelar pada Rabu, 8 Oktober 2014, memang sudah berlalu. Tapi, pembicaraan tentangnya masih ramai di media sosial. Maklumlah, sebagai sebuah gagasan, karya Bram itu memang cukup mengejutkan. Di saat orang sibuk dengan politik, di saat sebagian orang bicara tentang materialistik, Bram justru menggelar acara yang mengajak orang untuk kembali ke rumah, ke akar budaya kita yang menempatkan budi pekerti sebagai panglima.
Perkawinan Bagus Kodok Ibnu Sukodok dengan Peri Setyowati yang
notabene adalah makhluk tak kasat mata tentu peristiwa yang tak masuk
nalar, melengkapi "kegilaan" karya-karya Bram sebelumnya, seperti yang
pernah digelarnya yang berjudul "Membanting Macan Kerah".
Pada aksinya itu, Bramantyo Prijosusilo gagal menggelar aksi tunggal di depan Markas Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) di Kotagede, Yogyakarta. Belum sempat memulai aksinya, Bramantyo sudah ditarik dan dilawan oleh puluhan anggota laskar MMI. Tarik-menarik dan saling dorong antara polisi dan laskar pun terjadi.
Pada aksinya itu, Bramantyo Prijosusilo gagal menggelar aksi tunggal di depan Markas Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) di Kotagede, Yogyakarta. Belum sempat memulai aksinya, Bramantyo sudah ditarik dan dilawan oleh puluhan anggota laskar MMI. Tarik-menarik dan saling dorong antara polisi dan laskar pun terjadi.
Aksi tunggal yang dilakukan Bramantyo itu bertema “Melawan
Radikalisme Agama dengan Seni Atas Nama Pribadi”. Dia melakukan aksinya
di depan markas MMI, Jalan Karanglo, Kotagede, Rabu (15/2/2012).
Aksi diawali dari depan kompleks makam Kotagede yang berjarak sekitar
500 meter dari kantor MMI. Dia mengenakan pakaian Jawa motif lurik
warna coklat, ikat kepala/udheng, serta membawa sebuah kendi berisi air
bunga/kembang macan kerah. Bramantyo menaiki kereta kuda/andong menuju
lokasi.
Kini Bram menetap di Ngawi, Jawa Timur, sebagai seorang petani dengan
lahan seluar 7 hektar yang ditanami tumbuhan organik, seperti padi,
jamu-jamuan, dan buah-buahan.
Di luar pekerjaannya sebagai petani, mantan wartawan BBC London itu
juga gemar menulis opini dan pemikirannya di media massa ataupun untuk
konsumsi pribadi. Bramantyo juga mencintai puisi sejak SMP. "Saya juga
banyak menulis opini di media massa, tentang masalah sosial, politik,
dan budaya," kata pria kelahiran 9 Agustus 1965.
Berikut adalah petikan wawancara Kompas.com dengan Bramantyo Prijosusilo.
Tanya: Ide acara anda bermula dari apa?
Bram: Ide acara bermula dari urgensi berkarya
sebagai tanggungjawab kesenimananku. Dari obrolan dengan Mbah Kodok,
istriku, Dudy Anggawi dan saya beberapa tahun lalu. Menanggapi keinginan
Mbah Kodok kawin dengan danyang yang berkomunikasi dengannya. Setyowati
ingin kawin di alam manusia sebagai tanda komitmen Mbah Kodok untuk
tidak seperti orang lain (Jaka Tarub, Danang Sutawijaya dsb) hanya
menggauli mahluk halus untuk materi dan kekuasaan. Mbah Kodok bertanya,
apakah mungkin ? Saya jawab, mungkin, dengan cara, aku membuatnya
sebagai happening art, seni kejadian. Itu frame-nya, dan kejadiannya
sendiri Mbah Kodok Daup Setyowati. Maka ide itu aku gulirkan di FB dan
mulai dapat dukungan. Terkumpul "pledge" atawa janji urunan, sebesar
17.5 juta rupiah. Kemudian pileg, pilpres dsb menyita perhatian hingga
awal September kemarin Zen Zulkarnaen (produser acara) meyakinkan saya
kita mampu. Maka saya mulai nagihi janji dan mengumpulkan uang dan kita
kumbakarnan di Solo dan di Sekaralas, melibatkan komunitas.
Tanya: Berapa orang yang dikerahkan dan berapa banyak duit yang dianggarkan untuk mewujudkan acara tersebut?
Bram: Jadi awalnya ini ide 4 orang yang lalu dengan
kumbokarnan didukung ratusan orang sehingga akhirnya taksiran parkir
mendekati 10 ribu orang datang entah melihat apa. Biaya yang dikeluarkan
jauh lebih besar dari yang dianggarkan dan dikumpulkan dari sumbangan
dan itu anak istri saya dan Pak Zen yang tanggung. Orang desa yang
bekerja di hari H mungkin lebih 100, sebelum hari H 10an setiap hari.
Parkir motor dibuat Rp 5000, mobil 10 ribu, lapangan bola dan jalan dan
halaman rumah orang penuh. Warung dadakan ngeruk 1.7 juta -an. Semua
kalangan datang, paranormal, petani, pelajar, guru, PNS, pejabat,
politisi, tentu seniman.
Tanya: Mengapa kemudian ada kalangan yang menganggap karya anda ini sebagai penyimpangan akidah beragama?
Bram: Acara pertama dikenalkan ke masyarakat oleh
wartawan daerah yg biasa bikin straight news dan hanya melihat sisi
sensasionalnya. Tidak sisi budayanya, tidak pula sisi seninya. Sehingga
yang berkembang seakan ini suatu kemusyrikan, suatu persekutuan dengan
jinn ato setan, padahal tidak seperti itu. Setyowati bukan seorang jin
ato setan. Setyowati adalah seorang danyang, leluhur yang karena
ketinggian ilmunya dan ketulusannya tetap hidup dan mendapat rezeki dan
syafaat dari sisiNya meski kelihatannya mereka mati. Sebagian bahkan
tidak mati melainkan moksa, dan di dalam wacana keislaman mereka lebih
tepat disepertikan Nabi, mungkin terkhusus Nabi Khidr, atau juga seperti
mursyid dan aulia. Mereka semua telah didiskreditkan seakan mereka
jinn, maka itu mereka hadir memberi restu dan menyaksikan prosesi Mbah
Kodok rabi peri Setyowati. Karena itu saya dan kami yakin Ratu Kidul,
Pangeran Surya Kencana, Brawijaya Pamungkas, Sabda Palon dan Naya
Genggong hadir dan kami umumkan hal tersebut di siaran pers dan
undangan.
Tanya: Apa perlunya acara ini diadakan?
Bram: Ini adalah tonggak sejarah dalam budaya Jawa
karena beberapa hal. Pertama, ini pertamakalinya pria Jawa rabi peri di
alam manusia. Kedua, ini pertamakali Sabdo Palon dan Naya Genggong
membuat 'penampakan' setelah sirna ilang kertaning bhumi runtuhnya
Majapahit. Tiga, ini tonggak sejarah hubungan manusia dengan dhanyang,
membalikkan hubungannya ke posisi sehat yakni bekerjasama untuk bagusnya
ekologi, sosial dan budaya setempat. Keempat ini membalikkan mitos
semula bahwa "hanya darah raja" yang bisa kawin dengan mahluk halus.
Tanya: Anda menganggap Sabdo Palon dan Naya Genggong
(SP dan NG) sudah saatnya kembali menampakkan diri, karena situasi
sudah mulai kondusif?
Bram: Sabda Palon dan Naya Genggong ini hadir karena
budi mulai kecambah lagi di Nusantara. Saya dan Zastrouw al Ngatawi
ngasih pidato mintilihir soal karya ini kepada hadirin. Sesungguhnya
para Javanis di tahun 1945 yakin bahwa SP dan NG telah kembali dan era
ratu adil telah tiba. Namun, karena krisis politik diselesaikan dengan
pertumpahan darah orang tak berdosa masa itu tak mampu membangun
peradaban berdasarkan budi. Bahkan Orde Baru yang berdiri atas
penyelesaian berdarah krisis politik hanya mampu menghabiskan sumberdaya
alam dan menumpuk hutang sementara harta dan kuasa hanya di segelintir
orang sampai sekarang. Tak mampu ia bangun peradaban berdasarkan budi.
Reformasi demikian juga. Maka sekarang ada Revolusi Mental dan ada
tanda-tanda Jokowi punya kemampuan memenangi krisis-krisis politik tanpa
pertumpahan darah maka karya ini juga "menyambungkan lidah para
dhanyang tanah Jawa" yang mendukung Revolusi Mental, untuk kita semua
membangun peradaban berdasarkan budi. Dengan menuangkan budi ke
kehidupan di sekitar kita kesejahteraan kita jiwa raga meningkat
beberapa derajat tanpa biaya materi. Hadirnya budi keliyak sejak
tsunami, gempa, gunung meletus, bahkan bencana politik Orba ngancem
nguntal negeri ini kembali, relawan muncul. Relawan itulah kecambahnya
budi dan ujung tombaknya budi dan juga motor utama terselenggaranya
upacara Mbah Kodok Rabi Setyowati itu. Acara ini memang dieksekusi
sebagai upacara.
Tanya: Jika kemudian ada sebagian orang menerjemahkannya menyimpang dari yang sampean harapkan, menurutmu ada di mana kekeliruannya?
Bram: Karya seni tentu bebas diinterpretasikan
bagaimanapun juga. Saya hanya ingin menjelaskan bilamana mulai menjurus
tuduhan musyrik. Setyowati dan undangan ghoib tak seorangpun berupa jin,
semua dhanyang besar dan kecil, yang wafat maupun moksha namun masih
dengan senang hati berdialog dengan kita yang mau mendengarkan mereka.
Mereka bersama adalah roh-roh para mulia di masalalu Nusantara. Mereka
suka dengan acara ini, dan tentunya sebagaimana sebuah perkawinan akan
ada acara selanjutnya ... tunggu tanggal mainnya. Tiada satupun bagian
acara ini yang menyembah mahluk halus dengan pretensi uang atau
kekuasaan. Tidak ada permohonan syirik. Yang ada adalah daup, rabi, yang
beda dengan nikah yang memiliki kaidah fikh sendiri. Sedangkan daup
adalah lebih suatu upacara teatral nikah lebih mirip perjanjian
kepemilikan perempuan. Maka itu bagus dipentaskan. Apalagi mengingat
berbagai perayaan kawinan di masyarakat kita telah sulit dinikmati
sebagai kegembiraan, musik jelek terlalu keras, pedato gak mutu dan
sumbangan dan kebosanan, membuat keluhan tentang undangan kawin banyak
kudengar. Jadi ini juga membawa memori orang desaku kembali ke syukuran
dengan khidmat dan ikhlas bersama-sama membuat keindahan.
Tanya: Bisa cerita, berapa banyak tamu yang datang? Mereka terdiri dari kalangan apa saja?
Bram:
Kalo gak salah sebagian besar pejabat lokal bahkan pejabat dari jauh
berpangkat Kombes POLRI dari Bandung dan Kalimantan hadir. Benar-benar
suasananya seperti pesta rakyat. Pihak yang kontra cenderung dengan
alasan musyrik tapi Kiai-Kiai di sekitar sini mendukung bahkan banyak
yang hadir.
Tanya: Sebagian kalangan menganggap, anda akan menghidupkan kembali animisme dan dinamisme, apa tanggapan anda?
Bram: Aku nggak pernah menggunakan term fikh
‘pernikahan’ karena ini perkawinan atau daub atau rabi dengan
menggunakan adat jawa lengkap dengan prosesi mulai dari malam midodareni
sampai siraman, sanding dan jebol penganten.
Dan bagiku, perkawinan ini justru tonggak Sejarah Jawa karena dulu hanya raja dan bangsawan yang bisa kawin dengan makhluk haslu tapi kini rakyat jelata pun bisa. Kukatakan ini adalah tonggak sejarah karena ini adalah pertama kalinya perkawinan dengan roh di alam nyata dengan cara memanusiakan peri tersebut. Ini juga seni upacara, melibatkan keikhlasan orang banyak.
Tanya: Sebenarnya apa tujuan anda menyelenggarakan acara ini?Dan bagiku, perkawinan ini justru tonggak Sejarah Jawa karena dulu hanya raja dan bangsawan yang bisa kawin dengan makhluk haslu tapi kini rakyat jelata pun bisa. Kukatakan ini adalah tonggak sejarah karena ini adalah pertama kalinya perkawinan dengan roh di alam nyata dengan cara memanusiakan peri tersebut. Ini juga seni upacara, melibatkan keikhlasan orang banyak.
Bram: Kodok dan Peri Setyowati kawin dengan komitmen
mengayomi dan melindungi alam, budaya dan kesejahteraan bangsa Jawa,
khususnya di sekitar Sendang Margo Alas Begal serta alas Ketangga di
Paron, Ngawi. Jadi waktu acara temu, keluarga Peri Setyowati memberi mas
kawin kepada Kodok berupa bibit pohon bodi, beringin, dan dadap serep,
untuk menghijaukan lagi Sendang Margo yang malang.
Tanya: Omong-omong, sampean sendiri bisa berdialog dengan para danyang itu? kalau bisa, pesan apa yang disampaikan para danyang itu?
Bram: Tentu saja saya berkomunikasi dengan para
danyang, mereka telah lama menyeru-nyeru agar orang menjaga alam,
menjaga mata-air jangan dijual. Pohon-pohon jangan dijadikan uang saja.
Budaya jangan dibiarkan mati. Budi harus dikecambahkan. Dengan bantuan
manusia, sebab para roh leluhur yang berkepentingan dengan Nusantara
tidak punyak badan.
Tanya: sempat juga kah para danyang itu memberi warning atas peristiwa politik yang terjadi belakangan ini?
Bram: Ya tentu saja. Kalau kita bisa memenangkan
konflik politik dan sosial yang sedang terjadi dan mungkin memuncak,
tanpa pertumpahan darah orang tidak berdosa, maka Sabdo Palon dan Naya
Genggong akan menjeawantah, Ratu Adil akan bertahta sebagai sistem yang
memerdekakan bangsa Nusantara ini. Sungai-sungai akan kembali bersih,
kembali menjadi nadi transport, hutan-hutan yang rusak akan tertanami
kembali, mata-air-mata air milik publik kembali menjadi milik publik,
sekolak gak pada tawuran, parpol memiliki etika dan kwalitas dst dll ...
intinya, bagaimana membangun peradaban berdasarkan budi.
sumber
sumber
Title: Bramantyo Prijosusilo, Dalang Perkawinan Mbah Kodok
Posted by:
Published :2014-10-17T22:21:00+07:00
Bramantyo Prijosusilo, Dalang Perkawinan Mbah Kodok
Posted by:
Published :2014-10-17T22:21:00+07:00
Bramantyo Prijosusilo, Dalang Perkawinan Mbah Kodok
0 komentar:
Post a Comment